CONVENTION MARINE POLUTION
( M A R P O L )
A. SEJARAH KONVENSI MARPOL
Sejak
peluncuran kapal pengangkut minyak yang pertama GLUCKAUF pada tahun 1885 dan
penggunaan pertama mesin diesel sebagai penggerak utama kapal tiga tahun
kemudian, maka fenomena pencemaran laut oleh minyak mulai muncul.
Baru
pada tahun 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian yang dilakukan oleh
Pemerintah Inggris (UK), lahirlah “Oil Pullution Convention, yang mencari cara
untuk mencegah pembuangan campuran minyak dan pengoperasian kapal tanker dan
dari kamar mesin kapal lainnya.
Sebagai
hasilnya adalah sidang IMO mengenai “international Conference on Marine
Pollution” dari tanggal 8 Oktober sampai dengan 2 Nopember 1973 yang
menghasilkan “international Convention for the Prevention of Oil Pollution from
Ships” tahun 1973, yang kemudian disempurnakan dengan TSPP (Tanker Safety and
Pollution Prevention) Protocol tahun 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama
MARPOL 1973/1978 yang masih berlaku sampai sekarang.
Difinisi
mengenai “Ship” dalam MARPOL 73/78 adalah sebagai berikut:
“Ship
means a vessel of any type whatsoever operating in the marine environment and
includes hydrofoil boats, air cushion vehhicles, suvmersibles, ficating Craft
and fixed or floating platform”.
Jadi
“Ship” dalam peraturan lindungan lingkungan maritim adalah semua jenis bangunan
yang berada di laut apakah bangunan itu mengapung, melayang atau tertanam tetap
di dasar laut.
B. ISI PERATURAN MARPOL
Peraturan
mengenai pencegahan berbagai jenis sumber bahan pencemaran lingkungan maritim
yang datangnya dari kapal dan bangunan lepas pantai diatur dalam MARPOL
Convention 73/78 Consolidated Edition 1997 yang memuat peraturan :
1.
International Convention for the Prevention of
Pollution from Ships 1973.
Mengatur
kewajiban dan tanggung jawab Negara-negara anggota yang sudah meratifikasi
konvensi tersebut guna mencegah pencemaran dan buangan barang-barang atau
campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal. Konvensi-konvensi IMO yang
sudah diratifikasi oleh Negara anggotanya seperti Indonesia , memasukkan isi
konvensi-konvensi tersebut menjadi bagian dari peraturan dan perundang-undangan
Nasional.
2.
Protocol of 1978
Merupakan
peraturan tambahan “Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP)” bertujuan
untuk meningkatkan keselamatan kapal tanker dan melaksanakan peraturan
pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang berasal dari kapal terutama
kapal tanker dengan melakukan modifikasi dan petunjuk tambahan untuk
melaksanakan secepat mungkin peraturan pencegahan pencemaran yang dimuat di
dalam Annex konvensi.
Karena
itu peraturan dalam MARPOL Convention 1973 dan Protocol 1978 harus dibaca dan
diinterprestasikan sebagai satu kesatuan peraturan.
Protocol
of 1978, juga memuat peraturan mengenai :
-
Protocol I
Kewajiban
untuk melaporkan kecelakaan yang melibatkan barang beracun dan berbahaya.
Peraturan
mengenai kewajiban semua pihak untuk melaporkan kecelakaan kapal yang
melibatkan barang-barang beracun dan berbahaya. Pemerintah Negara anggota
diminta untuk membuat petunjuk untuk membuat laporan, yang diperlukan sedapat
mungkin sesuai dengan petunjuk yang dimuat dalam Annex Protocol I.
Sesuai
Article II MARPOL 73/78 Article III “Contents of report” laporan tersebut harus
memuat keterangan :
Ø
Mengenai identifikasi kapal yang terlibat melakukan
pencemaran.
Ø
Waktu, tempat dan jenis kejadian
Ø
Jumlah dan jenis bahan pencemar yang tumpah
Ø Bantuan dan jenis penyelamatan yang
dibutuhkan
Nahkoda atau perorangan yang bertanggung
jawab terhadap insiden yang terjadi pada kapal wajib untuk segera melaporkan
tumpahan atau buangan barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari
kapal karena kecelakaan atau untuk kepentingan menyelamatkan jiwa manusia
sesuai petunjuk dalam Protocol dimaksud.
-
Protocol II mengenai Arbitrasi
Berdasarkan
Article 10”setlement of dispute”. Dalam Protocol II diberikan petunjuk
menyelesaikan perselisihan antara dua atau lebih Negara anggota mengenai
interprestasi atau pelaksanaan isi konvensi. Apabila perundingan antara
pihak-pihak yang berselisih tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut,
salah satu dari mereka dapat mengajukan masalah tersebut ke Arbitrasi dan
diselesaikan berdasarkan petunjuk dalam Protocol II konvensi.
Selanjutnya
peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut oleh berbagai
jenis bahan pencemar dari kapal dibahas daam Annex I s/d V MARPOL 73/78,
berdasarkan jenis masing-masing bahan pencemar sebagai berikut :
Annex
I Pencemaran oleh minyak Mulai berlaku 2
Oktober 1983
Annex
II Pencemaran oleh Cairan Beracun (Nuxious
Substances) dalam bentuk Curah
Mulai berlaku 6 April
1987
Annex
III Pencemaran oleh barang Berbahaya (Hamful Sub-Stances) dalam bentuk Terbungkus Mulai berlaku 1 Juli 1991
Annex
IV Pencemaran dari kotor Manusia /hewan (Sewage)
diberlakukan 27 September 2003
Annex
V Pencemaran Sampah Mulai berlaku 31
Desember 1988
Annex VI
Pencemaran udara belum
diberlakukan
Peraturan
MARPOL Convention 73/78 yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia , baru
Annex I dan Annex II, dengan Keppres No. 46 tahun 1986.
C. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA ANGGOTA
MARPOL 73/78
1.
Menyetujui MARPOL 73/78 – Pemerintah suatu negara
2.
Memberlakukan Annexexes I dan II – Administrasi hukum /
maritim
3.
Memberlakukan optimal Annexes dan melaksanakan –
Administrasi hukum / maritim.
4.
Melarang pelanggaran – Administrasi hukum / maritim
5.
Membuat sanksi – Administrasi hukum / maritim
6.
Membuat petunjuk untuk bekerja – administrasi maritim
7.
Memberitahu Negara-negara yang bersangkutan –
administrasi maritim.
8.
Memberitahu IMO – Administration maritim
9.
Memeriksa kapal – Administrasi maritim
10. Memonitor
pelaksanaan – Administrasi maritim
11. Menghindari
penahanan kapal – Administrasi kapal
12. Laporan
kecelakaan – Administrasi maritim / hukum
13. Menyediakan
laporan dokumen ke IMO (Article 11) – Administrasi maritim
14. Memeriksa
kerusakan kapal yang menyebabkan pencemaran dan melaporkannya – Administrasi
maritim.
15. Menyediakan
fasilitas penampungan yang sesuai peraturan – Administrasi maritim.
D. YURISDIKSI PEMBERLAKUAN MARPOL 73/78
MARPOL 73/78
memuat tugas dan wewenang sebagai jaminan yang relevan bagi setiap Negara
anggota untuk memberlakukan dan melaksanakan peraturan sebagai negara bendera
kapal, Negara pelabuhan atau negara pantai.
Ø
Negara bendera kapal adalah Negara dimana suatu
kapal didaftarkan
Ø
Negara pelabuhan adalah Negara dimana suatu
kapal berada di pelabuhan Negara itu.
Ø Negara pantai adalah Negara dimana suatu
kapal berada di dalam zona maritim Negara pantai tersebut.
MARPOL 73/78 mewajibkan semua Negara
berdera kapal, Negara Pantai dan Negara pelabuhan yang menjadi anggota
mengetahui bahwa :
“ Pelanggaran terhadap peraturan konvensi
yang terjadi di dalam daerah yurisdiksi Negara anggota dilarang dan sanksi atau
hukuman bagi yang melanggar dilakukan berdasarkan Undang-Undang Negara anggota
itu”.
a. Juridiksi
legislatif Negara bendera kapal
Berdasarkan hukum
Internasional, Negara bendera kapal diharuskan untuk memberlakukan peraturan
dan mengontrol kegiatan berbendera Negara tersebut dalam hal administrasi,
teknis dan sarana sosial termasuk mencegah terjadi pencemaran perairan.
Negara bendera kapal
mengharuskan kapal berbendera Negara itu memenuhi standar Internasional (antara
lain MARPOL 73/78).
Tugas utama dari negara bendera
kapal adalah untuk menjamin bahwa kapal mereka memnuhi standar teknik di dalam
MARPOL 73/78 yakni :
-
memeriksa kapal-kapal secara periodik
-
menerbitkan sertifikat yang diperlukan
b. Juridiksi
legislatif Negara pantai
Konvensi MARPOL 73/78 meminta
Negara pantai memberlakukan peraturan konvensi pada semua kapal yang memasuki
teoritialnya dan, tindakan ini dibenarkan oleh peraturan UNCLOS 1982, asalkan
memenuhi peraturan konvensi yang berlaku untuk lintas damai (innocent passage)
dan ada bukti yang jelas bahwa telah terjadi pelanggaran.
c. Juridiksi
legislatif Negara pelabuhan
Negara anggota MARPOL 73/78
wajib memberlakukan peraturan mereka bagi semua kapal yang berkunjung ke
palabuhannya. Tidak ada lagi perlakuan khusus bagi kapal-kapal yang bukan
anggota.
Ini berarti ketaatan pada
peraturan MARPOL 73/78 merupakan persyaratan kapal boleh memasuki pelabuhan
semua Negara anggota.
Adalah wewenang dari Negara
pelabuhan untuk memberlakukan peraturan lebih ketat tentang pencegahan
pencemaran sesuai peraturan mereka. Namun demikian sesuai UNCLOS 1982 peraturan
seperti itu harus dipublikasikan dan disampaikan ke IMO untuk disebar luaskan.
E. CARA-CARA UNTUK MEMENUHI KEWAJIBAN DALAM
MARPOL 73/78
Persetujuan
suatu Negara anggota untuk melaksanakan MARPOL 73/78 diikuti dengan tindak
lanjut dari Negara tersebut di sektor-sektor :
Pemerintah
Administrasi
bidang hukum
Administrasi
bidang maritim
Pemilik kapal
Syahbandar
(port authorities)
a. Pemerintah
Kemauan
politik dari suatu Negara untuk meratifikasi MARPOL 73/78 merupakan hal yang
fundamental. Dimana kemauan politik itu didasarkan pada pertimbangan karena :
1.
Kepentingan lingkungan maritim di bawah yurisdiksi
Negara itu.
2.
Keuntungan untuk pemilik kapal Negara tersebut
(Kapal-kapalnya dapat diterima oleh dunia Internasional).
3.
Keuntungan untuk ketertiban di pelabuhan Negara itu
(dapat mengontrol pencemaran) atau
4.
Negara ikut berpartisipasi menjaga keselamatan
lingkungan internasional.
Pertimbangan
dan masukan pada Pemerintah untuk meretifikasi konvensi diharapkan datang dari
badan administrasi maritim atau badan administrasi lingkungan dan dari industri
maritim.
Dalam konteks
ini harus diakui bahwa Negara anggota MARPOL 73/78 menerima tanggung jawab
tidak membuang bahan pencemar ke laut, namun demikian di lain pihak mendapatkan
hak istimewa, perairannya tidak boleh dicemari oleh Kapal Negara anggota lain.
Kalau terjadi pencemaran di dalam teritorial mereka, mereka dapat menuntun dan
meminta ganti rugi. Negara yang bukan anggota tidak menerima tanggung jawab
untuk melaksanakan peraturan atas kapal-kapal mereka, jadi kapal-kapal-kapal
mereka tidak dapat dituntut karena tidak memenuhi peraturan (kecuali bila
berada di dalam daerah teritorial Negara anggota).
Namun demikian
harus diketahui pula bahwa Negara yang tidak menjadi anggota berarti kalau
pantainya sendiri dicemari, tidak dapat memperoleh jaminan sesuai MARPOL 73.78
untuk menuntut kapal yang mencemarinya.
b. Administrasi hukum
Tugas utama
dari Administrasi hukum adalah bertanggung jawab memberlakukan peraturan yang
dapat digunakan untuk melaksanakan peraturan MARPOL 73/78. Untuk memudahkan
pekerjaan Administrasi hukum sebaiknya ditempatkan dalam satu badan dengan
Administrasi maritim yang diberikan kewenangan meratifikasi, membuat peraturan
dan melaksanakannya.
Agar peraturan
dalam MARPOL 73/78 mempunyai dasar hukum untuk dilaksanakan, maka peraturan
tersebut harus diintegrasikan ke dalam sistim perundang-undangan Nasional. Cara
pelaksanaannya sesuai yang digambarkan dalam diagram berikut.
c. Administrasi maritim
Administrasi
maritim yang dibentuk pemerintah bertanggung jawab melaksanakan tugas administrasi
pemberlakuan peraturan MARPOL 73/78 dan konvensi-konvensi maritim lainnya yang
sudah diratifikasi. Badan ini akan memberikan masukan pada Administrasi hukum
dan Pemerintah di satu pihak dan membina industri perkapalan dari Syahbandar
dipihak lain yang digambarkan dalam diagram berikut.
Tugas dari
Administrasi maritim ini adalah melaksanakan MARPOL 73/78 bersama-sama dengan
beberapa konvensi maritim lainnya. Disarankan untuk meneliti tugas-tugas
tersebut guna identifikasi peraturan-peraturan yang sesuai dan memutuskan
bagaimana memberlakukannya.
d. Pemilik Kapal
Pemilik kapal
berkewajiban membangun dan melengkapi kapal-kapalnya dan mendiidk pelautnya,
perwira laut untuk memenuhi peraturan MARPOL 73/78. Konpetensi dan ketrampilan pelaut harus memenuhi
standar minimun yang dimuat dalam STCW-95 Convention.
e. Syahbandar (Port Authorities)
Tugas utama
dari Syahbandar adalah menyediakan tempat penampungan buangan yang memadai
sisa-sisa bahan pencemar dari kapal yang memadai. Syahbandar juga bertugas
untuk memantau dan mengawasi pembuangan bahan pencemar yang asalnya dari kapal
berdasarkan peraturan Annexes I, II, IV dan V MARPOL.
F. IMPLEMENTASU PERATURAN MARPOL 7378
Administrasi
Maritim dalam melaksanakan tugasnya adalah bertindak sebagai :
a.
sebagai pelaksanaan IMO
b.
Legislation dan Regulations serta Implementation of
Regulations
c.
Instruction to Surveyor
d.
Delegations of surveyor and issue of certificates
e.
Records of Certifications, Design Approval, dan Survey
Report
f.
Equipment Approval, Issue of certificates dan
Violations reports
g.
Prosecution of offenders, Monitoring receptions
facilities dan Informing IMO as required
Pemerikasaan dan Inspeksi yang dilakukan
oleh Surveyor dan Inspektor
Garis besar
tugas surveyor dan inspektor melakukan pemeriksaan dalam diagram di atas adalah
sebagai berikut :
a.
Memeriksa kapal untuk penyetujuan rancang bangun. Tugas
ini hendaknya dilakukan oleh petugas yang berkualifikasi dan berkualitas sesuai
yang ditentukan oleh kantor pusat Administrasi maritim.
b.
Inspeksi yang dilakukan oleh Syahbandar adalah
bertujuan untuk mengetahui apakah prosedur operasi sudah sesuai dengan
peraturan.
c.
Investigasi dan penuntunan. Surveyor dan Inspector
pelabuhan harus mampu melakukan pemeriksaan kasus yang tidak memenuhi peraturan
konstruksi, peralatan dan pelanggaran yang terjadi. Berdasarkan petunjuk dari
pusat Administrasi maritim, petugas tersebut harus dapat menuntut pihak-pihak
yang melanggar.
G. IMPLEMENTASI PERATURAN MARPOL 73/78
a.
Survey & pemeriksaan
b.
Sertifikasi
c.
Tugas Pemerintah
H. DAMPAK PENCEMARAN DI LAUT
Dampak
pencemaran barang beracun dan berbahaya terutama minyak berpengaruh terhadap :
a.
Dampak ekologi
b.
Tempat rekreasi
c.
Lingkungan Pelabuhan dan Dermaga
d.
Instalasi Industri
e.
Perikanan
f.
Binatang Laut
g.
Burung Laut
h.
Terumbu Karang dan Ekosistim
i.
Tumbuhan di pantai dan Ekosistim
j.
Daerah yang dilindung dan taman laut
Bahan-bahan
pencemar yang berasal dari kapal terdiri dari muatan yang dimuat oleh kapal,
bahan bakar yang digunakan untuk alat propulsi dan alat lain di atas kapal dan
hasil atau akibat kegiatan lain di atas kapal seperti sampah dan segera bentuk
kotoran.
Definisi
bahan-bahan pencemar dimaksud berdasarkan MARPOL 73/78 adalah sebagai berikut :
a.
“Minyak” adalah semua jenis minyak bumi seperti minyak
mentah (crude oil) bahan bakar (fuel oil), kotoran minyak (sludge) dan minyak
hasil penyulingan (refined product)
b.
“Naxious liquid substances”. Adalah barang cair yang
beracun dan berbahaya hasil produk kimia yang diangkut dengan kapal tanker
khusus (chemical tanker)
Bahan kimia
dimaksud dibagi dalam 4 kategori (A,B,C, dan D) berdasarkan derajad toxic dan
kadar bahayanya.
Kategori A :
Sangat berbahaya (major hazard). Karena itu muatan termasuk bekas pencuci tanki
muatan dan air balas dari tanki muatan tidak boleh dibuang ke laut.
Kategori B : Cukup
berbahaya. Kalau sampai tumpah ke laut memerlukan penanganan khusus (special
anti pollution measures).
Kategori C :
Kurang berbahaya (minor hazard) memerlukan bantuan yang agak khusus.
Kategori D : Tidak membahayakan, membutuhkan sedikit
perhatian dalam menanganinya.
c.
“Hamfull substances” Adalah barang-barang yang dikemas
dalam dan membahayakan lingkungan kalau sampai jatuh ke laut.
d.
Sewage”. Adalah kotoran-kotoran dari toilet, WC,
urinals, ruangan perawatan, kotoran hewan serta campuran dari buangan tersebut.
e.
“Garbage” Adalah tempat sampah-sampah dalam bentuk sisa
barang atau material hasil dari kegiatan di atas kapal atau kegiatan normal
lainnya di atas kapal.
Peraturan
pencegahan pencemaran laut diakui sangat kompleks dan sulit dilaksanakan secara
serentak, karena itu marpol Convention diberlakukan secara bertahap. Tanggal 2
Oktober 1983 untuk Annex I (oil). Disusul dengan Annex II (Noxious Liquid
Substances in Bulk) tanggal 6
April 1987 . Disusul kemudian Annex V (Sewage), tanggal 31 31
Desember 1988, dan Annex III (Hamful Substances in Package) tanggal 1 juli
1982. Sisa Annex IV (Garbage) yang belum berlaku Internasional sampai saat ini.
Annex I MARPOL
73/78 yang memuat peraturan untuk mencegah pencemaran oleh tumpahan minyak dari
kapal sampai 6 Juli 1993 sudah terdiri dari 23 Regulation.
Peraturan
dalam Annex I menjelaskan mengenai konstruksi dan kelengkapan kapal untuk
mencegah pencemaran oleh minyak yang bersumber dari kapal, dan kalau terjadi
juga tumpahan minyak bagaimana cara supaya tumpahan bisa dibatasi dan bagaimana
usaha terbaik untuk menanggulanginya.
Untuk menjamin
agar usaha mencegah pencemaran minyak telah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
oleh awak kapal, maka kapal-kapal diwajibkan untuk mengisi buku laporan (Oil
Record Book) yang sudah disediakan menjelaskan bagaimana cara awak kapal
menangani muatan minyak, bahan bakar
minyak, kotoran minyak dan campuran sisa-sisa minyak dengan cairan lain seperti
air, sebagai bahan laporan dan pemeriksaan yang berwajib melakukan kontrol
pencegahan pencemaran laut.
Kewajiban
untuk menigisi “Oli Record Book” dijelaskan di dalam Reg. 20.
Appendix I Daftar dari jenis
minyak (list of oil) sesuai yang dimaksud dalam MARPOL 73/78 yang akan
mencemari apabila tumpahan ke laut.
Appendix II, Bentuk sertifikat
pencegahan pencemaran oleh minyak atau “IOPP Certificate” dan suplemen mengenai
data konstruksi dan kelengkapan kapal tanker dan kapal selain tanker.
Sertifikat ini membuktikan bahwa kapal telah diperiksa dan memenuhi peraturan
dalam reg. 4. “Survey and inspection” dimana struktur dan konstruksi kapal,
kelengkapannya serta kondisinya memenuhi semua ketentuan dalam Annex I MARPOL
73/78.
Appendix III, Bentuk “Oil Record
Book” untuk bagian mesin dan bagian dek yang wajib diisi oleh awak kapal
sebagai kelengkapan laporan dan bahan pemeriksaan oleh yang berwajib di
Pelabuhan.
J. USAHA MENCEGAH DAN MENANGGULANGI PENCEMARAN LAUT
Pada permulaan tahun 1970-an cara pendekatan yang
dilakukan oleh IMO dalam membuat peraturan untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran laut pada dasarnya sama dengan yang dilakukan sekarang, yakni
melakukan kontrol yang ketat pada struktur kapal untuk mencegah jangan sampai
terjadi tumpahan minyak atau pembuangan campuran minyak ke laut. Dengan pendekatan
demikian MARPOL 73/78 memuat peraturan untuk mencegah seminimum mungkin minyak
yang mencemari laut.
Tetapi kemudian pada tahun 1984 dilakukan
perubahan penekanan dengan menitik beratkan pencegahan pencemaran pada kegiatan
operasi kapal seperti yang dimuat didalam Annex I terutama keharusan kapal
untuk dilengkapi dengan “Oily Water Separating Equipment dan Oil Discharge
Monitoring Systems”.
Karena itu
MARPOL 73/78 Consolidated Edition 1997 dibagi dalam 3 (tiga) kategori dengan
garis besarnya sebagai berikut :
a.
Peraturan untuk mencegah terjadinya Pencemaran.
Kapal
dibangun, dilengkapi dengan konstruksi dan peralatan berdasarkan peraturan yang
diyakini akan dapat mencegah pencemaran terjadi dari muatan yang diangkut,
bahan bakar yang digunakan maupun hasil kegiatan operasi lainnya di atas kapal
seperti sampah-sampah dan segala bentuk kotoran.
b.
Peraturan untuk menanggulangi pencemaran yang terjadi
Kalau sampai
terjadi juga pencemaran akibat kecelakaan atau kecerobohan maka diperlukan
peraturan untuk usaha mengurangi sekecil mungkin dampak pencemaran, mulai dari
penyempurnaan konstruksi dan kelengkapan kapal guna mencegah dan membatasi
tumpahan sampai kepada prosedur dari petunjuk yang harus dilaksanakan oleh
semua pihak dalam menaggulangi pencemaran yang telah terjadi.
c.
Peraturan untuk melaksanakan peraturan tersebut di
atas.
Peraturan
prosedur dan petunjuk yang sudah dikeluarkan dan sudah menjadi peraturan
Nasional negara anggota wajib ditaati dan dilaksanakan oleh semua pihak yang
terlibat dalam membangun, memelihara dan mengoperasikan kapal. Pelanggaran
terhadap peraturan, prosedur dan petunjuk tersebut harus mendapat hukuman atau
denda sesuai peraturan yang berlaku.
Khusus bahan
pencemaram minyak bumi, pencegahan dan penanggulanganya secara garis besar
dibahas sebagai berikut :
a. Peraturan untuk pencegahan pencemaran oleh
minyak.
Untuk mencegah
pencemaran oleh minyak bumi yang berasal dari kapal terutama tanker dalam Annex
I dimuat peraturan pencegahan dengan penekanan sebagai berikut :
1. Regulation 13, Segregated Ballast Tanks,
Dedicated Clean Tanks Ballast and Crude Oil Washing (SRT, CBT dan COW)
Menurut hasil
evaluasi IMO cara terbaik untuk mengurangi sesedikit mungkin pembuangan minyak
karena kegiatan operasi adalah melengkapi tanker yang paling tidak salah satu
dari ketiga sistem pencegahan :
-
Segregated Ballast Tanks (SBT)
Tanki khusus
air balas yang sama sekali terpisah dari tanki muatan minyak maupun tanki bahan
bakar minyak. Sistem pipa juga harus terpisah, pipa air balas tidak boleh
melewati tanki muatan minyak.
-
Dedicated Clean Ballast Tanks (CBT)
Tanki bekas
muatan dibersihkan untuk diisi dengan air balas. Air balas dari tanki tersebut,
bila dibuang ke laut tidak akan tampak bekas minyak di atas permukaan air dan
apabila dibuang melalui alat pengontrol minyak (Oil Dischane Monitoring),
minyak dalam air tidak boleh lebih dari 13 ppm.
-
Crude Oil Washing (COW)
Muatan
minyak mentah (Crude Oil) yang disirkulasikan kembali sebagai media pencuci
tanki yang sedang dibongkar muatnnya untuk mengurangi endapan minyak tersisa
dalam tanki.
2. Pembatasan Pembuangan Minyak
MARPOL
73/78 juga masih melanjutkan ketentuan hasil Konvensi 1954 mengenai Oil
Pollution 1954 dengan memperluas pengertian minyak dalam semua bentuk termasuk
minyak mentah, minyak hasil olahan, sludge atau campuran minyak dengan kotorn
lain dan fuel oil, tetapi tidak termasuk produk petrokimia (Annex II)
Ketentuan
Annex I Reg.9. “Control Discharge of Oil” menyebutkan bahwa pembuangan minyak
atau campuran minyak hanya dibolehkan apabila :
-
Tidak di dalam “Special Area” seperti Laut
Mediteranean, Laut Baltic, Laut Hitam, Laut Merah dan daerah Teluk.
-
Lokasi
pembuangan lebih dari 50 mil laut dari daratan
-
Pembuangan Dilakukan Waktu Kapal sedang berlayar
-
Tidak membuang minyak lebih dari 30 liter /natical mile
-
Tidak membuang minyak lebih besar dari 1 : 30.000 dari
jumlah muatan.
3. Monitoring dan Kontrol Pembuangan Minyak
Kapal
tanker dengan ukuran 150 gross ton atau lebih harus dilengkapi dengan “slop tank” dan kapal tanker ukuran
70.000 tons dead weight (DWT) atau lebih paling kurang dilengkapi “slop tank”
tempat menampung campuran dan sisa-sisa minyak di atas kapal.
Untuk
mengontrol buangan sisa minyak ke laut maka kapal harus dilengkapi dengan alat
kontrol “Oil Dischange Monitoring and Control System” yang disetujui oleh
pemerintah, berdasarkan petunjuk yang ditetapkan oleh IMO. Sistem tersebut
dilengkapi dengan alat untuk mencatat berapa banyak minyak yang ikut terbuang
ke laut. Catatan data tersebut harus
disertai dengan tanggal dan waktu pencatatan. Monitor pembuangan minyak
harus dengan otomatis menghentikan aliran buangan ke laut apabila jumlah minyak
yang ikut terbuang sudah melebihi amabang batas sesuai peraturan Reg. 9 (1a)
“Control of Discharge of Oil”.
4. Pengumpulan sisa-sisa minyak
Reg. 17
mengenai “Tanks for Oil Residues (Sludge)” ditetapkan bahwa untuk kapal ukuran
400 gross ton atau lebih harus dilengkapi dengan tanki penampungan dimana
ukurannya disesuaikan dengan tipe mesin yang digunakan dan jarak pelayaran yang
ditempuh kapal untuk menampung sisa minyak yang tidak boleh dibuang ke laut
seperti hasil pemurnian bunker, minyak pelumas dan bocoran minyak dimakar
mesin.
Tanki-tanki
penampungan dimaksud disediakan di tempat-tempat seperti :
-
Pelebuhan dan terminal dimana minyak mentah dimuat.
-
Semua pelabuhan dan terminal dimana minyak selain
minyak mentah dimuat lebih dari 100 ton per hari.
-
Semua daerah pelabuhan yang memiliki fasilitas galangan
kapal dan pembersih tanki.
-
Semua
pelabuhan yang bertugas menerima dan memproses sisa minyak dari kapal.
b. Peraturan untuk menanggulangi pencemaran
oleh minyak
Sesuai Reg. 26
“Shipboard Oil Pollution Emergency Plan” untuk menanggulangi pencemaran yng
mungkin terjadi maka tanker ukuran 150 gross ton atau lebih dan kapal selain
tanker 400 grt atau lebih, harus membuat rencana darurat pananggulangan
pencemaran di atas kapal.
c. Peraturan pelaksanan dan ketentuan
pencegahan dan penanggulangan pencemaran oleh minyak.
Pencegahan dan
penaggulangan pencemaran yang datangnya dari kapal tanker, perlu dikontrol
melalui pemeriksaan dokumen sebagai bukti bahwa pihak perusahaan pelayaran dan
kapal sudah melaksanakannya dengan semestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar